Dialog Jumat: Mahabbah, Jalan Menuju Allah

Notification

×

Iklan

Iklan

Dialog Jumat: Mahabbah, Jalan Menuju Allah

Jumat, 20 Januari 2023 | 08:30 WIB Last Updated 2023-01-21T04:31:02Z




Allah SWT merupakan tujuan tertinggi dan paling hakiki dalam kehidupan manusia di dunia ini. Karena itu, apa pun yang dilakukan haruslah berujung kepada tujuan tersebut. Salah satu caranya, yaitu dengan memahami konsep mahabbah (cinta) kepada Allah. Perasaan cinta tersebut harus diikuti dengan ketulusan untuk mengorbankan apa saja kepada-Nya.



Istilah mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, khususnya kepada Allah. Jika umat Islam mencari mahabbah atau cinta murni ini, kemudian berhasil mencapainya ia akan dimuliakan oleh Allah SWT.



Secara istilah, mahabbah merupakan perasaan rindu dan senang yang istimewa terhadap sesuatu. Perasaan demikian menyebabkan seseorang terpusat kepadanya bahkan mendorong orang tersebut untuk memberikan yang terbaik. Mahabbah dapat pula berarti al-waduud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.



Dalam pandangan tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah yang di dalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali hanya Allah. Dalam kitab Mu'jam Al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni benci.



Konsep mahabbah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal, Rabi'atul Adawiyah. Menurutnya, mahabbah atau cinta yang suci murni tersebut lebih sempurna dari pada rasa takut (khauf) ataupun rasa pengharapan (raja') karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridha-Nya.



Tokoh tasawuf tersebut mengatakan, mahabbah merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya sehingga Adawiyah sendiri rela mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah. Bahkan, begitu cintanya kepada Allah ia menolak untuk menikah selama hidupnya.



Cinta kepada Allah juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil syara', baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan mahabbah.



Sementara, Imam al-Ghazali mengatakan, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Jika kecenderungan tersebut mendalam dan menguat maka ia dinamakan rindu.



Menurut al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Ia mencontohkan seperti halnya cinta umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa cinta tersebut merupakan wujud kecintaan kita terhadap Allah SWT. Hal itu karena Muhammad adalah hamba-Nya yang dicintai-Nya.



Para kalangan Sufi memang menganggap mahabbah sebagai modal awal untuk menjalin komunikasi kepada Allah SWT. Dalam buku Tasawuf Madzab Cinta, dikisahkan Abu Yazid al Basthami mendefinisikan mahabbah sebagai sikap menganggap sedikit sesuatu yang banyak yang berasal dari diri kita dan menilai hal sedikit yang bersumber dari kekasih kita sebagai sesuatu yang besar. Karena itu, cinta kepada Allah merupakan tingkatan puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf.

Tentang mahabbah juga dapat dijumpai di dalam sumber agama Islam, yaitu Alquran. Dalam surah Ali Imran ayat 31, Allah berfirman, "Katakanlah: jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."



Dalam surah al-Maidah ayat 54, Allah juga berfirman, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya dan yang mencintai-Nya."



Namun, untuk menemukan cinta sejati Allah tersebut, kita mungkin perlu terlebih dahulu mulai belajar membaca Alquran dengan benar dan memahami kandungan dan maksudnya. Selain itu, tekun melakukan shalat fardhu beserta shalat sunahnya. Sebab, hal ini nantinya juga dapat mengantarkan kita ke tingkatan cinta yang lebih tinggi kepada Allah.



Selain itu, kita harus lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah dari pada cinta hawa nafsu kita walau hal ini berat. Karena itu, kita harus selalu komitmen dan selalu konsisten dengan aturan Allah. Allah mengingatkan dalam firman-Nya.



"Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan untung ruginya, dan rumah-rumah yang kamu senangi lebih kamu cintai dari Allah dan rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan putusan-Nya. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24) .  (Hafidz Muftisany/Republika)