Fikih Difabel Ala Muhammadiyah

Notification

×

Iklan

Iklan

Fikih Difabel Ala Muhammadiyah

Selasa, 24 Januari 2023 | 11:25 WIB Last Updated 2023-01-24T04:25:10Z

 



Istilah difabel berarti different-ability-people. Secara umum bermakna bahwa setiap orang di dunia ini termasuk difabel kaerna punya kemampuan berbeda-beda. Sedangkan dalam makna khusus, istilah ini digunakan untuk menggantikan istilah “penyandang cacat” yang berkonotasi merendahkan martabat manusia. Menurut data yang dilansir International Labour Organization (ILO), sekitar 1 miliar orang atau 15% dari penduduk bumi merupakan difabel dalam pengertian yang kedua. Sementara itu, sekitar 82% difabel hidup di negara-negara berkembang dan umumnya berada di bawah garis kemiskinan.


Pada 1970 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan pentingnya memenuhi hak-hak difabel sebagaimana warga lain dari kelompok minoritas lain. Pada tahun 2006 Convention on the Rights of People with Disabilities (CPRD) menjadi penanda besar adanya perubahan dalam memandang kelompok masyarakat yang mengalami perbedaan kemampuan fungsional fisik, mental, dan sensorik. Indonesia meratifikasi CRPD melalui UU No. 19 tahun 2011. Akan tetapi, implementasinya belum berpegang pada konvensi tersebut secara maksimal.


Keterbatasan akses yang dihadapi kelompok difabel merentang dari berbagai sektor mulai dari ekonomi, politik, kebudayaan, sosial hingga keagamaan. Kondisi ini diperparah dengan stigma dan stereotip yang berkembang di masyarakat dan bahkan dalam pelayanan oleh negara. Oleh karena itu, perlu adanya suatu pedoman yang memuat pandangan Islam tentang difabel supaya hak-hak sipil mereka terpenuhi sekaligus mengubah kekeliruan persepsi yang berkembang di masyarakat.


Landasan Nilai Fikih Difabel Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berupaya merespon permasalahan yang dihadapi oleh jamaah difabel. Maka Muhammadiyah menyusun suatu pedoman yang disebut Fikih Difabel. Penggunaan istilah difabel di sini untuk menujukkan posisi Muhammadiyah bahwa pada dasarnya, setiap makhluk yang Allah ciptakan memiliki kemampuan yang berbeda-beda.


Istilah ‘difabel’ merupakan terminologi modern yang tidak dikenal dalam al-Qur’an, Hadits, atau sumber klasik Islam lain. Namun al-Qur’an memuat kata yang banyak dipakai adalah yang merujuk pada suatu jenis difabel tertentu, misalnya a’ma, ‘umyun (tunanetra), a’sam (tuli), abkam atau akhrash (tidak bisa bicara/bisu), a’raj (lumpuh), dan majnun (orang dengan gangguan mental). Dalam beberapa ayat, difabel juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok lemah atau dilemahkan oleh sistem (mustad’afin), kelompok miskin dan membutuhkan pertolongan dalam akses (masaakin).


Walaupun al-Qur’an memuat berbagai kata yang menunjuk pada satu jenis difabel tertentu, namun kebanyakan penyebutannya dalam konteks metoforis (kinayah). Kata a’ma (dalam semua bentuk derivasinya), misalnya, disebutkan di banyak ayat al-Qur’an yang memiliki makna ganda: kebutaan secara fisik (QS. ‘Abasa: 2), dan kebutaan dalam makna moral (QS. al-Hajj: 48). Selain itu, kata abkam yang secara bahasa berarti bisu. Dalam QS. al-Nahl ayat 76, kata abkam dipakai untuk menggambarkan mereka yang tidak mau menyiarkan kebenaran.


Karena itu, makna metaforis inilah yang menandakan bahwa secara umum teks-teks Islam menunjukkan pandangan yang netral. Netralitas Al Quran terhadap difabel telah menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia tidaklah diukur dari kondisi fisik ataupun materi, tapi dari ketakwaannya. Dengan kata lain  dalam Islam manusia merupakan entitas spiritual, bukan entitas fisik atau materi.


Apa Saja Isi Fikih Difabel Muhammadiyah?

Fikih Difabel Muhammadiyah merupakan respon terhadap persoalan sosial-keagamaan yang dalam pelaksanaannya tidak selalu dilihat dari segi hukum taklifi (halal-haram). Istilah ‘fikih’ dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna aslinya, yaitu totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang.


Dalam Muhammadiyah, norma berjenjang dijadikan sebagai basis dalam membangun paradigma fikih Muhammadiyah. Jenjang norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Adanya jenjang norma ini menjadikan fikih Muhammadiyah lebih cair dan lentur, tetapi dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif.


Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (30/12), Ali Yusuf menerangkan bahwa gagasan Fikih Difabel yang disusun Majelis Tarjih pun dibangun dengan mengikuti struktur norma berjenjang tersebut. Terdapat tiga nilai-nilai dasar dalam Fikih Difabel, yaitu: Tauhid, keadilan, dan kemaslahatan.  Nilai-nilai dasar ini diambil dari nilai universalitas Islam yang diserap langsung dari semangat al-Quran dan as-sunnah. Tingkatan pertama ini bersifat norma-norma abstrak yang merupakan nilai paling esensial dalam ajaran Islam.


Pertama, Nilai dasar tauhid meniscayakan bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada Allah. Sebagai inti, tauhid merupakan unsur yang menjadi tingkatan tertinggi yang menjadi basis inspirasi dari perilaku dan gerakan-gerakan yang dilakukan umat. Nilai-nilai tauhid membawa pada keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah. Hal ini termaktub dalam Q.S. al-Baqarah ayat 117 dan QS. al-Thalaq ayat 12.


Peran Allah untuk makhluk-Nya tidak hanya mencipta, melainkan juga mengatur segala detail ciptaan-Nya mulai dari bentuk fisik sampai nasib. Hal tersebut tercermin dalam QS. al-Ḥasyr ayat 24 dan QS. al-Insan ayat 30. “Jika kita mendapati orang yang memiliki keterbatasan fisik, tentu ini bukan keinginan dirinya,” kata Ali.


Akan tetapi, setiap pemberian Allah terdapat kebaikan di dalamnya. Allah tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tidak memiliki kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Apa pun yang sudah melekat dan terjadi pada manusia adalah pemberian Allah swt yang harus dimaknai sebagai sebuah kebaikan. Karena segala hal yang diberikan Allah berupa kebaikan, maka Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia sebagaimana yang tertera di dalam QS. Ali ‘Imran ayat 191.


Prinsip tauhid mengakui adanya pluralitas fisik, sehingga mendorong kesetaraan manusia di hadapan manusia lainnya. Baik difabel maupun bukan, keduanya dipandang setara sebagai makhluk ciptaan Allah. Prinsip ini membawa implikasi bahwa seseorang harus berlaku adil kepada siapapun sebagaimana yang tertulis di dalam QS. al-Nahl ayat 90.


Kedua, nilai keadilan meniscayakan bahwa semua manusia di hadapan Allah pada hakikatnya sama. Dalam konteks difabel, nilai keadilan berarti setiap orang harus menerima bahwa keterbatasan fisik sebagai bagian dari keragaman manusia secara umum, dan sama sekali bukan hukuman Tuhan. Sebab pada dasarnya yang membedakan manusia di hadapan Allah, tentu bukan kesempurnaan fisik, melainkan keunggulan spiritual, amal ibadah dan perbuatan-perbuatan terpuji lainnya.


Dalam Islam, kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah, melainkan kebersihan hati dan kekuatan iman kepada-Nya. Di dalam al-Quran sendiri lebih menekankan pengembangan karakter dan amal saleh, daripada melihat persoalan fisik seseorang.


Dengan demikian, nilai dasar keadilan memberikan sinyal positif bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus statusnya sebagai subjek hukum (mukallaf) hanya karena keterbatasan fisik, sensorik, mental, maupun intelektual sebagaimana yang tersirat di dalam QS. Al-Nur ayat 61. “Ini mendorong agar mereka tetap bisa menjalankan ibadah dan ketataan-ketataan kepada Allah, adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuannya,” ungkap Ali.


Ketiga, kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama adanya syariat Islam (maqashid al-syari‘ah). Terdapat tiga tingkatan di dalam maqashid al-syari‘ah, yaitu dlaruri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (tersier). Maslahat dlaruriyyah adalah sesuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan dunia dan akhirat. “Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya kehidupan,” terang Ali.


Dalam konteks fikih difabel, nilai kemaslahatan yang berada di tingkatan dlaruriyyah bermakna menjaga hak-hak difabel, memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan memberikannya kesempatan untuk berkontribusi nyata dalam segala bidang. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayar 143.


Nilai dasar kemaslahatan menunjukkan bahwa semua manusia memiliki status yang sama sebagai khalifah di bumi, sehingga siapapun itu berhak memberikan kontribusi nyata dalam kemajuan di segala bidang. Dengan demikian, penyandang difabel dapat berpartisipasi secara nyata dalam mewujudkan kemaslahatan sesuai dengan kemampuannya. “Seseorang yang ditakdirkan jadi difabel tidak perlu berkecil hati, karena masih bisa berbuat nyata untuk kemajuan dan kemaslahatan,” kata Ali.


Dengan demikian, nilai-nilai dasar yang diserap dalam ayat-ayat al-Quran telah menunjukkan bahwa difabel merupakan bagian dari makhluk ciptaan Allah yang harus dimuliakan. Karena semua makhluk merupakan ciptaan Allah, maka harus dipandang sama dalam artian tidak melakukan diskriminasi dan melontarkan bully. Persamaan derajat di hadapan Allah juga menunjukkan bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus sebagai subyek hukum (mukallaf). Artinya mereka tetap dapat beribadah dan berkarya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika mereka dapat diberi kesempatan hadir di depan publik, bukan tidak mungkin kondisi difabel dapat menciptakan kemaslahatan.(Ilham Ibrahim)