Pentingnya Fiqih Kuliner dan Label Halal MUI

Notification

×

Iklan

Iklan

Pentingnya Fiqih Kuliner dan Label Halal MUI

Sabtu, 28 Januari 2023 | 10:27 WIB Last Updated 2023-01-30T03:30:13Z



Kita memulai pembahasan ini dengan melihat terlebih dahulu bagaimana syariah memandang makanan itu sendiri, istilah yang kerennya, kuliner dalam syariah. Beberapa orang mengatakan dengan istilah yang lebih modern, Fiqih Kuliner. Kalau kita buka kitab-kitab fiqih klasik yang membahas Al-Ath’imah wa Al-Asyribah (makanan dan minuman), kita akan menemukan bahwa syariah tidak pernah membuat klasifikasi makanan halal. Kenapa? Karena memang dalam syariah, makanan itu aslinya adalah halal semuanya. Jadi kalau dihitung-hitung, makanan halal dan makanan haram dalam pandanga syariah itu lebih banyak makanan halalnya.


Bahkan memang semua halal kecuali beberapa jenis kecil makanan saja yang diharamkan. Tapi yang dibahas oleh para ulama dalam bab kuliner itu ialah kriteria makanan haram, bukan kreteria makanan halal. Karena semuanya halal kecuali yang diharamkan, maka dibuat kriteria keharaman sebuah makanan. Artinya kalau ada makanan yang tidak masuk dalam kreteria ini, ya dia termasuk makanan yang halal, boleh dikonsumsi.


Kita bahas secara global saja, tak perlu terlalu dalam, yang penting intinya dapat lah gitu. Kalau dilihat dari zat makanan itu sendiri, -artinya makanan ini diharamkan karena memang makanan itu sendiri bukan karena sebab di luar itu-, kita bisa klasifikasi lagi menjadi 2; [1] Makanan secara umum, dan [2] Khusus makanan Hewani (yang bersumber dari hewan). 1. Makanan Secara Umum Kalau makanan secara umum yang non-hewani, entah itu berasal dari tumbuhan, atau juga makanan olahan manusia, kriteria haramnya ada 3 poin; 1.1. Najis Intinya, kalau najis maka itu menjadi barang yang haram untuk dikonsumsi. Seperti misalnya kotoran hewan, kotoran manusia, air seni, dan juga yang paling populer itu adalah darah denan segala jenisnya. Itu semua diharamkan karena memang najis. Dulu kita sering dengar istilah halalan thoyyiban (yang halal lagi baik), nah najis itu bukan termasuk jenis barang yang thoyyib, karena mengandung kotoran, maka tidak diperkenankan dalam syariah mengkonsumsinya.


Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157) Tentu dalam hal ini ada beberapa pengecualian, dan kita tidak akan bahas itu terlalu panjang, intinya krtiteria makanan haram itu adalah yang mengandung najis di dalamnya. Dan dari kriteria ini pula kah muncul perdebatan antara ulama tentang kopi luwak. 1.2. Memabukkan Kriteria kedua sudah jelas.


Makanan apapun itu yang membuat mabuk maka diharamkan. Akan tetapi mesti diluruskan juga pemahaman mabuknya seperti apa, karena dalam bahasa Indonesia, kata mabuk itu punya berarti banyak. Orang yang naik kendaraan jauh juga disebut mabuk kalau dia muntah-muntah dan kepala pusing. Orang yang makan durian terlalu banyak juga biasanya dikatakan oleh orang lain mabuk durian. Akan tetapi yang dimaksud mabuk yang diharamkan ialah menghilangkan akal pikiran ketika mengkonsumsinya.


Dari Ibni Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan semua jenis khamar itu haram. Siapa yang minum khamar di dunia dan mati terbiasanya meminumnya tanpa bertaubat, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat ” (HR. Muslim dan Ad-Daruquthuny) 1.3. Memberikan Mudhorot Madharat adalah hal-hal yang membahayakan atau mencelakakan, dan salah satu pintunya adalah lewat makanan yang membahayakan kesehatan, bahkan malah mencelakakan. Dasar larangan memakan makanan yang madharat adalah dalil secara umum tentang haramnya seseorang melakukan hal-hal yang mendatangkan madharat. Di antaranya:


Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195) Dan juga hadits Rasulullah SAW melarang terjadinya madharat, baik kita sebagai pihak yang menyebabkan atau pun juga sebagai korbannya. Sabda Nabi saw:


Tidak boleh menyebabkan dharar dan tidak boleh menerimanya. 2. Makanan Hewani Kalau makanan itu berasal dari hewan, kriteria haramnya memang ulama sejak dulu berbeda pendapat. Ulama masing-masing madzhab punya kriteria sendiri dalam jenis makanan hewani ini, dan tidak saling bersepakat. Diantara kriteria itu adalah: 2.1. Eksplisit Diharamkan; babi 2.2. Bangkai 2.3. Hewan Buas 2.4. Hewan Dua Alam 2.5. Hewan yang diperintah membunuhnya dan dilarang membunuhnya 2.6. Jalallaalah (hewan kotor/makan kotoran) Dua kriteria teratas itu disepakati oleh ulama keharamannya. Namun mereka juga berselisih paham tentang apa itu yang disebut bangkai. Apa kriteria sehingga seekor hewan itu disebut bangkai Dan kriteria selanjutnya dari 3 sampai 6 itu diperdebatkan oleh ulama, contohnya hewan buas. Ulama berbeda pendapat hewan apa yang disebut sebagai hewan buas, apakah hanya bertaring dan punya cakar Atau ia yang menyerang manusia. Atau ia yang memakan daging.


Termasuk perdebatan ulama tentang hewan yang hidup di dua alam. Kalau al-syafi’iyyah memang terkenal sekali bahwa yang hidup di dua alam itu diharamkan. Akan tetapi mazdhab lain tidak menyepakatinya. Sama seperti hewan yang menjijikan (jallaalah), yaitu yang memakan kotoran atau yang bergumul kotoran. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. intinya krtiteria di atas itu adalah kriteria yang memang ulama memasukan hewan dalam kategori tersebut sebagai hewan yang dagingnya haram dimakan.


Label HALAL MUI Nah, kita mulai masuk sekarang pembahasan tentang label halal mui yang menurut sebagian orang menjadi cap legalitas untuk makanan itu bisa dikonsumsi atau tidak. Konsep Terbalik Kalau kita lihat apa yang dijelaskan di atas tentang makanan dalam syariah, memang terjadi semacam kontradiksi antara konsep dasar masing-masing lembaga ini (kita sebut syariah juga sebagai lembaga). Lembaga syariah tidak memakai istilah label halal, tapi yang dipakai itu adalah label haram.


Karena memang semua makanan itu halal. Sedangkan lembaga LPPOM MUI memakai konsep yang terbalik, mereka memakai konsep label haram, bukan halal. Jadi seakan-akan bahwa semua makanan yang belum mendapat sertifikasi halal dari mui, kehalalan makanan tersebut menjadi diragukan.


Konsep terbalik itu nyata dan tertulis pada beberapa kalimat yang ada dalam konsep dasar LPPOM MUI yang bisa kita lihat di web remi mereka; halalmui dot org, semacam ada blunder kalimat. Mereka menyebutkan: “Namun perkembangan teknologi telah menciptakan aneka produk olahan yang kehalalannya diragukan. Banyak dari bahan-bahan haram tersebut yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada berbagai produk olahan, karena dianggap lebih ekonomis. Akibatnya kehalalan dan keharaman sebuah produk seringkali tidak jelas karena bercampur aduk dengan bahan yang diragukan kehalalannya. Hal ini menyebabkan berbagai macam produk olahan menjadi syubhat dalam arti meragukan dan tidak jelas status kehalalannya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyimpulkan bahwa semua produk olahan pada dasarnya adalah syubhat. Oleh karena itu diperlukan kajian dan penelaahan sebelum menetapkan status halalharamnya suatu produk. Hal ini dilakukan untuk menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi suatu produk.” Blunder Nah ada kalimat yang menurut saya ini adalah blunder, LPPOM MUI mengatakan bahwa pada dasarnya semua produk olahan adalah syubhat! Nah, dari maka sumbernya mereka mengatakan bahwa olahan yang tidak punya sertifikasi halal mui itu adalah syubhat.


Dari sini nyata terlihat, kalau LPPOM MUI menggunakan konsep terbalik denan apa yang digunakan oleh syariah. Ingat hadits syubhat? “man waqo’a fi syubuhat, faqod waqo’a fil-haram” (siapa yang jatuh pada syubhat, ia jatuh pada sebuah keharaman). Melakukan sebuah hal yang syubhat memang tidak terlarang, karena syubhat bukanlah sebuah keharaman. Menjadi haram jika perkara syubhat itu dirutinkan setiap hari. Maka kalau memakai konsep ini, seluruh orang Indonesia setiap hari melakukan perkara syubhat, karena setiap kita pasti memakan makanan olahan yang tidak ada label halalnya dari MUI; warteg, dapur istri kita, dapur ibu kita, gorengan kaki lima, olahan kaki lima, siomay, batagor, soto dan sebagainya.


Di paragraph ini, jelas nyata bahwa LPPOM MUI menganggap bahwa label halal yang diberikan itu adalah legalitas kehalalan, dan selainnya diragukan. Menimbulkan kesan bahwa LPPOM MUI itu lembaga agama yang paten dan bersertifikat Tuhan, yang keputusannya itu punya konsekuensi hukum agama yang kuat. Padahal tidak mendapat label halal dari MUI bukan berarti makanan itu syubhat apalagi haram. Toh kaidah umum dalam kuliner itu semuanya halal, kecuali yang diharamkan. Tapi, sebenarnya upaya untuk itu, meneliti kehalalan sebuah produk sangat positif. Disamping untuk mematikan bahwa yang dikonsumsi itu halal, ini juga upaya menjaga kenyamanan konsumen sebagai penikmat makanan yang memang dilindungi oleh undang-undang.


Lebel Halal Bukan Berarti Selainnya Haram Ini juga yang sepertinya menjadi pe-er buat kita pada umumnya dan buat LPOM MUI sendiri pada khususnya. Bahwa label halal MUI tidak bisa dipahami dengan system Mafhum Mukholafah, yaitu kalau ini halal berarti selainnya haram. Tidak begitu. Seharusnya masyarakata mendapat kejelasan materi tentang hal ini, bahwa label halal LPPOM MUI itu bukan mengharamkan yang tidak memakai label halal.


Akan tetapi makanan yang mendapat label halal itu artinya produk ini telah melewati penilitian LPPOM MUI, yang hasilnya bahwa olahan ini ingridients-nya halal tanpa diragukan. Tapi bukan berarti yang lain itu haram karena tidak ada label MUI, hanya saja itu telah melewati penelitian. Dan lembaga semisal LPPOM MUI itu bukanlah kembaga ketuhanan yang sertifikasinya itu merupakan wahyu, yang kalau ada produk tidak mendapat sertifikasi itu berarti tuhan belum mengizinkannya untuk dikonsumsi.


Bukan seperti itu! Ini seperti orang yang baru mengaji kemudian dikenalkan dengan kitab shahih Al-Bukhori dan Muslim, bahwa 2 kitab ini adalah kumpulan hadits-hadits shahih. Kemudian pelajar pemula ini memahami bahwa kalau bukan bukhori muslim, maka itu tidak shahih.


Tidak seperti itu, maka perlu adanya penyuluhan terhadap hal-hal semacam ini. Jadi selain label halalnya, pemahaman tentang label halal di tengah masyarakat juga tidak kalah penting untuk diurus, bahkan lebih penting dari label halal itu sendiri.


Label Halal Penting Kalau pertanyaan penting atau tidak penting, ya jawabannya pun tidak satu arah. Ini penting dari satu sisi, dan bisa jadi penting dari sisi lainnya. Penting karena memang konsumen punya hak untuk menikmati makanan yang sesuai dengan tuntutan agama, dan itu adalah amanat undang-undang. Dengan adanya pelabelan produk halal, masyarakat jadi sangat terbantu untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk yang pasti kehalalannya.


Tidak ada lagi keraguan di dalamnya, lantaran sudah ada lembaga yang menjamin kehalalannya. Ini merupakan kemajuan pesat dan prestasi tersendiri dari kalangan umat Islam, lantaran ada kesadaran meluas untuk mengkonsumsi produk halal. Tapi bisa juga menjadi tidak penting, karena mayoritas orang Indonesia adalah muslim dan konsep dasar syariah yang menjadi pegangan hidup adalah bahwa setiap makanan itu halal kecuali yang diharamkan.


Bukan semuanya haram kecuali yang dihalalkan. Rasanya memang label halal ini diperlukan untuk Negara-negara yang beependuduk muslim minoritas. Mereka bututh guidance tentang masalah kehalalan dan keharaman sebuha produk makanan. Kalau di Indonesia yang meyoritas muslim, sepertinya tidak perlu. Khawatir dipahami secara keliru oleh kebanyakan orang seperti sekarang ini. Kalau memang harus ada, ya mestinya ada juga penyuluhan dan pemahaman yang benar terhadap label halal itu sendiri di tengah masyarakat. Kemudian juga, mungkin label halal ini menjadi penting jika itu diprkatekkan pada makanan-makanan import yang masuk ke Indonesia dari luar negeri yang berstatus Negara non-muslim, seperti cina, korea, Australia, amerika dan sebagainya. Sebagai antisipasi makanan yang tidak halal dari Negara tersebut. Wallahu a’lam