Di dalam catatan shirah Islam, Rasulullah ialah seorang nabi yang murah senyum. Ketika bertemu dengan tetangganya, beliau selalu tersenyum. Ketika di jalanan bertemu dengan orang yang memusuhinya, beliau pun selalu tersenyum.
Bahkan, ketika raut muka orang kafir masam, beliau tidak membalasnya dengan raut muka masam: beliau akan membalasnya dengan senyuman.
Imam Husein ra, cucu beliau, menuturkan keluhuran budi pekerti kakeknya, Muhammad Rasulullah Saw. Al-Husein raberkata,”Aku bertanya kepada Ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Saw. terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau.Ayahku menuturkan, “Beliau Saw. senantiasa tersenyum, berbudi pekerti, rendah hati; beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkan, pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas.” (HR. At-Tirmidzi).
Aisyah ra bercerita, “Tidak pernah saya melihat Rasulullah Saw. tertawa terbahak-bahak sehingga kelihatan batas kerongkongannya. Akan tetapi tertawa beliau adalah dengan tersenyum”. (HR. Bukhari)
Saking menyukai senyuman seseorang, Rasulullah menyatakan bahwa senyum adalah ibadah. Dengan tersenyum, kita seolah sedang berbuat baik kepada sesama manusia.
Dengan tersenyum pula, kita sedang bersedekah kegembiraan kepada orang lain.
Rasulullah selalu tersenyum pada isterinya. Beliau juga tersenyum kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kerabatnya.
Bahkan, beliau akan selalu tersenyum ketika ada orang lain yang menyakitinya.
Ketika beliau bersedih, masih bisa tersenyum; apalagi kalau sedang gembira, ia akan tertawa dengan tersenyum. Sebab, senyuman merupakan wujud tertawa Rasulullah. Beliau tidak pernah tertawa terbahak-bahak.
Rasulullah menggunakan senyuman ketika menegur seseorang, tetap tersenyum ketika menerima ancaman, dan tersenyum ketika membebaskan tawanan orang kafir, yang menentangnya secara fisik dan jiwa.
Walaupun Rasulullah sering tersenyum ketika disakiti, namun jika hukum Allah dilanggar, wajahnya akan memerah karena marah.
Senyum dan marahnya Rasulullah selalu profesional dan beliau sangat tahu kapan saat yang tepat untuk marah. Kendati Rasulullah pernah marah, tetapi kemarahannya itu tidak melahirkan rasa dendam dan dengki.
Coba saja kalau kamu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, apakah masih bisa tersenyum?
Saya pikir, kamu tak akan mampu tersenyum ketika sumpah serapah yang menghina dirimu meluncur dari tetangga di dekat rumahmu.
Kamu akan memilih marah ketimbang harus tersenyum kepada orang semacam itu. Karena tersenyum merupakan sebuah gawe organisme tubuh yang sangat sulit.
Tak heran ketika seseorang mampu tersenyum ketika dirinya disakiti, hal itu dikategorikan sebagai ibadah. Dalam kondisi membolehkan marah, tetapi tidak marah; malah tersenyum, hal itu merupakan kerja spiritual yang besar bagi seorang manusia.
Senyum disebut sebagai ibadah juga, tersebab di dalam aktivitas tersenyum kepada orang lain, ada semacam transfer kegembiraan. Dengan transfer kebahagiaan ini, orang yang melihat senyuman kita akan mendapatkan energi kegembiraan di dalam dirinya.
Rasulullah mah orangnya memang murah senyum. Ketika seseorang marah kepadanya, tetapi di saat yang sama orang itu melihat senyuman Rasulullah. Maka kemarahannya akan mereda berganti dengan ketenangan jiwa.
”Tersenyum ketika bertemu dengan saudara kalian adalah termasuk ibadah.” (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi).
Ketika Rasulullah menyuruh seorang sahabat untuk membelikan sesuatu, tetapi sahabat itu malah tidak profesional; ia marah tapi dibalut dengan senyuman.
Coba kita resapi apa yang diceritakan seorang sahabat dan pesuruh Nabi, Anas Ibn Malik ra.
Anas Ibn Malik ra berkata, bahwa Rasulullah adalah orang yang mulia akhlaknya, lapang jiwanya, dan luas kasih sayangnya.
Suatu hari aku (Anas Ibn Malik) diutus Rasulullah untuk suatu keperluan. Aku pun berangkat untuk menunaikannya.
Namun, di tengah jalan, ada anak-anak sedang bermain; lalu aku ikut bermain bersama mereka sehingga lupa untuk memenuhi keperluan beliau.
Ketika sedang asyik bermain, tanpa aku sadari di belakang, ada seseorang berdiri memperhatikan, lalu ia memegang pundakku.
Aku menoleh ke belakang dan aku melihat Rasulullah Saw. tersenyum kepadaku lalu berkata, “Wahai Anas apakah engkau telah mengerjakan perintahku?”
Aku kebingungan dan berkata, “Ya, aku akan pergi sekarang ya Rasulullah!”
Demi Allah, aku telah melayani beliau selama sepuluh tahun dan beliau tidak pernah berkata kepadaku, ”Mengapa kau kerjakan ini? Mengapa kau tidak mengerjakannya?”
Rasulullah orangnya tidak pernah protes, tidak pernah komplen, tidak pernah mencela, tidak pernah mengkritik tanpa kerja; beliau selalu tersenyum ketika mendapatkan kesalahan yang dilakukan sahabatnya.
Bahkan, di dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Belum pernah aku menemukan orang yang paling banyak tersenyum seperti halnya Rasulullah Saw.” (HR. At-Tirmidzi). *** (SAB)