Keabsahan ideologi Pancasila yang telah berdiam di tengah bangsa Indonesia sejak lampau kala, akhir-akhir ini terus digugat dan dipertentangkan. Butir-butir sila, juga penerapannya dianggap terlampau jauh dengan konsep yang telah ditata oleh agama, dalam hal ini Islam, sebagai agama terbesar di Indonesia. Agama yang dibawa oleh manusia sempurna, al-insan al-kamil, Nabi Muhammad saw., adalah agama yang sempurna pula. Karenanya, menurut para penggugat itu, seluruh perikehidupan manusia sejatinya harus merujuk kepada dua sendi agama: Alquran dan hadits.
Sementara, apa yang telah menjadi keputusan bangsa Indonesia untuk memeluk Pancasila sebagai ideologi kebangsaannya, masih menurut mereka, tidaklah sesuai, bahkan bertentangan dengan teks yang ada dalam dua sendi itu. Banyak hukum syariat, semacam had dan qishash, tidak mampu dilaksanakan oleh negara. Mereka mendakwa bahwa apa yang sedang dianut bangsa ini adalah kesalahan fatal. Mereka merujuk pada ayat Alquran:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (QS. Al-Maidah: 45)
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Maidah: 47)
Ayat-ayat yang berderet ini, terucap dalam ayat-ayat yang beruntun, menurut mereka adalah dalil shahih untuk menyatakan Pancasila sebagai ideologi yang salah, bahkan sesat (thaghut).
Namun, apakah Pancasila sesesat itu? Lantas bagaimana sejatinya bentuk negara yang diwajibkan syariat? Lalu, apakah para ulama dahulu, yang lebih memilih menukarkan tanah air ini dengan darah dari pada jatuh ke tangan penjajah, dianggap menumbuhkan kesesatan?
Para intelektual alumni santri Lirboyo, yang tergabung dalam tim bahtsul masail HIMASAL (Himpunan Alumni Santri Lirboyo), berusaha meluruskan penggugatan dan pertentangan ini. Dengan buku berjudul “Fikih Kebangsaan: Merajut Kebersamaan Ditengah Kebhinekaan”, Mereka membawa tema keabsahan NKRI, terminologi Amr Ma’ruf Nahi Munkar, dan isu toleransi dengan pola kajian yang rinci dan terang. Akan banyak ditemukan kutipan-kutipan panjang dari kutub mu’tabarah (kitab-kitab terpercaya) demi memperkuat tiap keputusan yang ditulis. Juga akan diungkapkan penjelasan rinci dalil-dalil yang sering digunakan para penggugat, yang ternyata salah ditafsirkan, bahkan cenderung mengungkap fakta sebaliknya.
Buku ini mengantarkan anda pada pemahaman bahwa NKRI sejatinya adalah lahan dakwah yang akomodatif: sebuah jalan tengah yang justru berpegang teguh pada sunnah (ketetapan agama). Sebuah bumi yang sepatutnya kita cintai, hingga pada akhirnya muncul kehidupan yang damai dan penuh berkah. Yang mana, kedamaian – sebagaimana menurut Imam Fakhr al-Râzi—adalah nikmat terbesar dan media untuk menggapai maslahat dunia akhirah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
______________________________
“Empat pilar bangsa, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah peninggalan para masyayikh Nahdlatul Ulama, termasuk pula masyayikh Lirboyo, sebagai upaya terbaik mencapai kemashlahatan agama, bangsa dan negara. Mari kita jaga dan rawat dengan baik, jangan sampai perjuangan para sesepuh kita sia-siakan. Maka buku ini sangat penting dimiliki dan dibaca, khususnya bagi para santri yang dituntut tidak hanya menguasai kitab kuning, namun juga harus melek terhadap wawasan kebangsaan agar dapat menerapkan ilmu agama dengan maksimal di tengah kemajemukan negara Indonesia.”
KH. M. Anwar Manshur.
______________________________
“Buku ini sedianya merupakah hasil Bahtsul Masail HIMASAL (Himpunan Alumni Santri Lirboyo) beberapa waktu lalu. Para mushahih dan perumus LBM berkumpul untuk mendiskusikan dan menyempurnakan hasil bahtsul masail itu hingga beberapa pertemuan. Untuk itu, apa yang ditulis dalam buku ini insya allah sudah melalui pertimbangan matang, dengan mengedepankan tahqiq dan tathbiq ibarat-ibarat ulama yang sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.”
KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus.
______________________________
Judul: Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinnekaan
Pengantar: KH. Maimun Zubair
Mushahih:
KH. Athoillah Sholahuddin Anwar
KH. Romadhon Khatib
KH. Azizi Hasbullah
KH. Ali Musthofa Sa’id
K. A. Fauzi Hamzah
K. Anang Darun Naja
KH. Ibrahim Ahmad Hafidz
Penyusun: Tim Bahtsul Masail HIMASAL
KH. Zahro Wardi
KH. Ridhwan Qoyyum Sa’id
K. Saiful Anwar
K. Thohari Muslim
Agus HM. Adibussholeh Anwar
Agus HM. Sa’id Ridhwan
Agus H. Aris Alwan Subadar
Agus Arif Ridhwan Akbar
Agus M. Hamim HR.
Agus Abdurrahman Kafabihi
Agus M. Syarif Hakim An’im
Ust. Najib Ghani
Ust. Ahmad Muntaha AM.
Ust. M. Mubassyarum Bih
Ust. M. Khotibul Umam
Ust. Ali Zainal Abidin
Editor: Ahmad Muntaha AM
Page; Size: xvi + 100 hlm; 14,5 x 21 cm
Penerbit: Lirboyo Press dan LTN HIMASAL
ISBN: 978-602-1207-99-0