Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air dalam Bingkai Al-Quran

Notification

×

Iklan

Iklan

Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air dalam Bingkai Al-Quran

Jumat, 03 Februari 2023 | 09:19 WIB Last Updated 2023-02-07T02:24:24Z



Dalam satu dekade terakhir, Indonesia tengah digoyangkan oleh beberapa kelompok yang sengaja “menggerogoti” pilar-pilar kebangsaan ini. Pekikan suara “takbir”, “tegakkan khilafah”, “tegakkan syariat” menjadi rentetan terminologi yang acap kali kita dengarkan dalam beberapa tahun terakhir. Anehnya, beberapa masyarakat Indonesia terbuai dengan seruan tersebut. Bahkan, kelompok-kelompok tersebut terus berupaya membenturkan dan mengontradiksikan antara agama vis-a-vis negara.


Oleh karenanya, maka dirasa perlu sebuah upaya menggali dan mendeskripsikan kembali nilai dan ajaran Al-Quran yang berkalam tentang ajaran dan prinsip kebangsaan, untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan realitas keindonesiaan kita hari ini.


Bid’ah Nasionalisme dalam Al-Quran, Benarkah?


Pertanyaan di atas dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang “alergi” terhadap realitas kebangsaan dan keanekaragaman hari ini. Mereka merindukan hidup sejahtera ala khilafah yang sesungguhnya ideologi tersebut di kalangan mereka sendiri masih debatable. Belum lagi, luluh lantaknya Suriah dan negara Timur Tengah menambah daftar panjang akibat warganya terpesona dengan narasi “khilafah”, dan semacamnya.


Dalam konteks itulah, bangsa ini sesungguhnya terjangkiti – meminjam istilah Masdar Hilmy – sindrom pembusukan. Karena itu tidak ada alternatif lain kecuali menyembuhkannya melalui negasi dari itu semua, yaitu “sindrom pertumbuhan” (syndrom of growth). From dalam The Heart of Man, sebagaimana dikutip Masdar Hilmy, mendefinisikan syndrome of growth sebagai cinta kehidupan vis-a-vis cinta kematian, cinta antar sesama vis-a-vis narsisisme, dan kemerdekaan vis-a-vis symbiotic-incestuous fixation.


Secara naluriah, setiap manusia dengan mental yang sehat dilahirkan mencintai tanah kelahirannya (Q.S. al-Baqarah [2]: 144). Dengan demikian, kata Gus Najih Arromadloni, penulis Tafsir Kebangsaan, tidak dibutuhkan dalil nasionalisem, sebab Islam merupakan agama yang senada dengan fitrah (Q.S. al-Rum [30]: 30).


Tidak cukup itu, Gus Najih kemudian memaparkan beberapa ayat Al-Quran yang menjadi dasar nasionalisme, misalnya Q.S. al-Qasas [28]: 85, “Sesungguhnya Allah yang mewajibkan atasmu (petunjuk) Al-Quran benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali”. Syekh Ismail Haqqi dalam Tafsir Ruh al-Bayan, menyatakan bahwa ayat ini menyiratkan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman (hal. 3).


Selain itu, ayat tersebut menjadi pelipur lara untuk Nabi saw tatkala berhijrah ke Madinah yang mana sesungguhnya Nabi saw masih terus merindukan tanah kelahirannya, Makkah. Karenanya, Allah berjanji kelak akan membawanya kembali ke tanah asal. Kemudian, Q.S. al-Baqarah 2]; 126 yang merupakan doa Nabi Ibrahim untuk negerinya,


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ


“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan yang sementara, kemudian Aku haruskan ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S al-Baqarah [2]: 126).


Dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menyatakan bahwa doa tersebut selain masyhur diucapkan oleh Nabi Ibrahim, juga diucapkan oleh semua nabi untuk negerinya masing-masing. Setiap nabi berdoa agar di negaranya terwujud keadilan, kemakmuran, dan rasa bangga. Tentu masih banyak pula ayat-ayat lain yang menyampaikan pesan yang sama, yakni menyejajarkan berat kehilangan tanah air dengan kehilangan nyawa, di antaranya Q.S al-Anfal [8]: 30, Q.S al-Baqarah [2]: 191, Q.S al-Baqarah [2]: 84 dan 85, dan sebagainya(hal. 4-5). Sila pembaca dapat membaca lebih dalam pada situs tafsiralquran.id


Indonesia: Percikan Surga di Dunia


Al-Quran menggambarkan tanah air sebagai sesuatu hal yang sangat bernilai dan berharga. Indonesia sebagai tanah air, sekaligus rumah kita bersama yang gemah ripah loh jinawi haruslah dijaga dan dirawat. Dalam hal ini, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib berujar“ja’ala mufaraqatu al-wathani mu’adalatun li qatli al-nafsi” (Allah akan menjadikan berpisah dengan tanah air sebanding atau sepadan dengan dibunuhnya nyawa) (hal. 23)


Al-Razi mengisahkan pengusiran seseorang atau masyarakat dari tanah airnya sepadan dengan membunuh nyawanya, bahkan lebih kejam dibanding pembunuhan (hal. 24). Dalam ayat lain disebutkan, misalnya, Q.S. al-Baqarah [2]: 191, “Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”.




Ayat di atas ditafsiri oleh Mula al-Qari, pakar hadits dalam sebuah karyanya, Mirqatul Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih, ia menafsirkan kata fitnah dalam ayat tersebut sebagai berikut,


ومفارقة الوطان المألوفة التي هي أشد البلاء ومن ثم فسر قوله تعالى وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ بالإخراج من الوطن :لأنه عقب بقوله وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ

“Berpisah dengan tanah air yang dicintai adalah cobaan paling berat. maka dari itulah firman Allah “dan fitnah itu lebih berat dari pembunuhan” ditafsiri dengan diusir dari tanah air sebab terusan dari ayat itu adalah “maka usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian”.


Sedangkan al-Qurthuby, sebagaimana dikutip Senata Adi Prasetia, menaruh perhatian serius terhadap ciri pemberontak dan orang kafir. Ia menukil pendapat sebagian ulama bahwa ayat ini menerangkan tentang ketidaksamaan membelotnya para pemberontak dan orang kafir terhadap pemimpin.


Jika orang kafir berperang, maka tujuan mereka adalah membunuh semua orang dalam peperangan. Lain halnya dengan pemberontak, goal (tujuan) mereka berperang adalah untuk menghasut, mengadu domba, memprovokasi dengan ujaran kebencian agar terjadi disintegrasi dan menimbulkan perang saudara. Naudzu billah min dzalik.


Karenanya ayat-ayat Alquran di atas menunjukkan betapa sangat mahalnya harga sebuah kemerdekaan, kedamaian dan kemakmuran tanah sampai-sampai Alquran menggambarkan pengusiran tanah air disandingkan dan disepadankan dengan pembunuhan atas nyawa atau bahkan lebih berat dan kejam dari itu.


Eksklusivitas Beragama: Sebuah Ironi


Sekali lagi, sebagaimana dipaparkan di muka, Al-Quran telah menunjukkan betapa berharganya sebuah tanah air dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Ibn Taimiyah menjelaskan dengan menukil satu riwayat yang mana menunjukkan betapa pentingnya membentuk pemerintahan, “Enam puluh tahun dari kehidupan seorang pemimpin yang zalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa adanya kepempimpinan”.


Baca Juga  Menguatkan Nasionalisme untuk Membendung Radikalisme


Kelompok-kelompok yang terus mendengungkan “Tegakkan Khilafah” sejatinya telah lupa bahwa ia hidup dalam negara Indonesia, ia menghirup udaranya, ia dapat menikmati makanan minuman dan panorama keindahan Indonesia yang semestinya ia jaga dan ia rawat, bukan sebaliknya.


Mereka lupa terhadap fenomena Suriah dan negara timur tengah lainnya yang luluh lantah akibat masyarakatnya terbuai dengan janji-janji utopis Khilafah Islamiyyah dan sebagainya. Dalam konteks inilah, semangat apologetik dalam sikap keberagamaan (religious exclusivism) kian memperparah keengganan pemeluk agama untuk duduk dan berdiskusi bersama dalam rangka memperteguh semangat kebangsaan.


Indonesia Rumah Kita Bersama


Sebagaimana yang disebutkan dalam sirah Nabawiyah, Rasulullah saw itu pribadi yang sangat nasionalis, sangat cinta tanah air, sangat mencintai rumahnya dan tiada henti mendoakan keselamatan dan kemakmuran negerinya. Rasul saw sangat mencintai kota Makkah, karena ia lahir dan besar di Makkah, ayah bundanya asli penduduk Makkah, dan semua sanak kerabatnya tinggal di Makkah (hal. 25)


Guna melukiskan kecintaanya terhadap negara Madinah, Rasulullah saw berdoa,

اَلَّلهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah jadikan kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah bahkan lebih darinya.” (H.R. an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra)

Jika Nabi saw saja sebagai pribadi yang sangat mencintai tanah airnya, lantas kita sebagai umatnya bukankah mencintai Indonesia adalah sebagai bentuk peneladanan terhadap sunnah-Nya. Maka nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangan dengan ajaran Islam (hal. 25-26).

Akhirnya, saya ingin mengutip pernyataan Gus Mus, “Indonesia adalah rumah kita bersama, tempat kita lahir, tempat kita mencari nafkah, tempat kita menghirup kesejukan udaranya, tempat kita bersujud, dan tempat kita dikebumikan kelak, maka mari kita jaga, kita rawat rumah ini dengan sebaik-baiknya, jangan biarkan orang lain merusaknya.”

Judul Buku          : Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air, Toleransi dan Bela Negara dalam Al-Quran Penulis                : M. Najih Arromadloni, dkk Jml Halaman      : xiv + 224 halaman Penerbit              : El-Bukhari Institute Tahun Terbit      : 2021
Peresensi : Senata Adi Prasetia