4 Makna Perintah Puasa Dalam Al-Baqarah Ayat 183 Menurut Buya Hamka

Notification

×

Iklan

Iklan

4 Makna Perintah Puasa Dalam Al-Baqarah Ayat 183 Menurut Buya Hamka

Sabtu, 25 Maret 2023 | 16:37 WIB Last Updated 2023-03-29T09:42:44Z

 



SANTRI ABAD 21

 Ibadah puasa Ramadan merupakan salah satu dari rukun Islam. Sebagai sebuah kewajiban bagi kaum muslimin, ibadah puasa diperintahkan Allah SWT melalui surah Al-Baqarah ayat 183.


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”


Bagaimana hikmah, pelajaran, tujuan, dan fadilah puasa berdasarkan ayat di atas menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)?



Mengutip laman muhammadiyah.or.id, menurut Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” Jilid 1, ayat di atas setidaknya mengandung empat bagian penting, yaitu hikmah, pelajaran, tujuan, dan faedah.


Hikmah: puasa Ramadan hanya bisa ditunaikan oleh orang yang memiliki iman

Mengutip penjelasan sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Masud RA, Hamka menyebut ayat yang dimulai dengan bunyi “Ya ayuhalladziina-aamanu” (wahai sekalian orang-orang beriman) dipastikan berisi suatu pesan yang sangat penting yang hanya bisa ditunaikan oleh orang-orang beriman.


“Kalau perintah tidak dijatuhkan kepada orang yang beriman tidaklah akan berjalan. Orang yang merasa dirinya ada iman bersedia menunggu, apa agaknya perintah yang akan dipikul itu. Dan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, dan bersedia pula bangun di waktu sahur (dini hari) dan makan pada waktu itu, karena Tuhan yang memerintahkan,” tulis Hamka.


Pelajaran: puasa adalah suatu kegiatan agung, telah dilakukan umat terdahulu

Dalam bahasa Arab, puasa disebut shiyam atau shaum, yang artinya ialah menahan. Dalam pengertian syariat, shiyam bermakna menahan makan dan minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu magrib.




Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad SAW, aktivitas puasa telah dilakukan oleh banyak umat, kebudayaan, dan keyakinan. Hamka menulis bahwa penganut Hindu, Buddha, agama Mesir Kuno, dan yang lainnya telah memiliki ajaran serupa.


Umat Hindu, misalnya, berpuasa untuk menaklukkan dominasi kekuatan ragawi dan kehendaknya. Jika manusia bisa lepas dari kehendak ragawi, Buddha berpendapat maka mereka akan mencapai derajat mulia, nirwana.


Sementara itu dalam tradisi agama samawi, puasa juga dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Kitab Taurat memuji dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa. Begitu pula kitab Injil, Nabi Isa AS, Nabi Musa AS, Nabi Zakaria AS, dan Maryam yang secara spesifik disebut pernah berpuasa oleh Al-Quran.


Setelah Rasulullah SAW diutus, puasa ditetapkan sebagai ibadah. Puasa yang wajib melalui Ramadan, sedangkan yang lain-lain sebagai ibadah sunnah (tathawu).


Tujuan: puasa membentuk ketakwaan

Di ujung ayat Al-Baqarah 183, ibadah puasa disebut untuk membentuk pribadi yang bertakwa (la-alakum tattaqun). Kaum muslimin, menurut Hamka dilatih untuk dapat mengendalikan diri. Terutama pada dua syahwat alamiahnya, yaitu syahwat perut, dan syahwat kelamin.


Walaupun seorang muslim itu telah memiliki pasangan yang halal, makanan, dan minuman yang halal, dan tidak ada satu orang pun yang mengawasinya, orang yang beriman tetap akan berpuasa karena keyakinannya pada pengawasan Allah SWT.


“Jika keduanya ini tiada terkendali (syahwat perut dan syahwat kelamin), bisalah kemanusiaan manusia menjadi runtuh dan turun bertukar menjadi kebinatangan. Namun, apabila dapat dikendalikan dengan puasa, kemanusiaan tadi akan naik tingkatnya. Kesabaran menahan adalah nilai yang amat penting bagi keteguhan jiwa. Sebab itu maka bersabda Nabi kita SAW, puasa adalah separuh dari sabar (HR Ibnu Majah).”


Faedah: puasa menyebabkan kesehatan badan dan kestabilan jiwa

Selain memenuhi tuntutan syariat, puasa juga memiliki fadilah bagi badan, misalnya kesehatan. Hamka lalu mengisahkan bahwa sahabatnya, tokoh NU, KH Wahid Hasyim, hampir berpuasa setiap hari sepanjang hayatnya.


“Karena dengan jalan demikian beliau rasai benar betapa besar khasiat puasa beliau itu mengurangi penyakit gula yang menyerang diri beliau. Namun, beliau tegaskan bahwasanya bagi beliau yang utama sekali ialah niat beribadat, yang nomor dua barulah kesehatan.”



“Memang demikianlah pendirian orang yang alim. Karena kalau berpuasa dengan niat hanya untuk kesehatan badan, belumlah tentu diterima Tuhan. Namun, berpuasa dengan niat mencapai takwa, itulah yang dikehendaki Tuhan, dan untung juga kalau di samping ibadat dia pun membawa kesehatan.”


Ibadah puasa menurut Hamka juga mampu membuat jiwa lebih stabil, jika ibadah itu dilaksanakan dengan iman dan kesadaran (imaanan wa ihtisaaban). Mereka yang terlatih berpuasa dengan kemantapan iman, akan terhindar dari puasanya orang awam yang tidak memberikan bekas kepada dirinya sendiri.


“Niscaya kita pun bertemu orang yang puasa asal perut lapar saja. Dibendungnya selera satu hari penuh, tetapi ketika berbuka puasa dihantamnya mana yang terletak dengan tidak terkendalikan sehingga belanjanya sebulan puasa sama dengan belanja setahun. Nanti bila tiba waktu beribadat tarawih atau tadarus matanya sudah ngantuk karena terlalu kenyang. Tentu kurang sekali harapan bahwa orang ini akan mendapat faedah takwa dengan puasa semacam itu.”


“Maka kalau Rasulullah SAW menganjurkan berbuka puasa dengan secangkir air sejuk dan sebutir korma, artinya ialah supaya dalam membukakan puasa itu kita pun terlatih juga mengendalikan diri. Sehingga maksud puasa untuk takwa benar-benar dapat dirasakan,” tulis Hamka.


“Itu pula dapat dipahami jika ulama-ulama menganjurkan supaya tiap-tiap malam puasa itu dibaharui niat. Niat hendak puasa besok karena Allah. Meskipun misalnya tidak diucapkan, tetapi dirasakan dalam hati,” tulisnya